Sebuah luka yang pernah terbuka lagi dan pelan pelan di jahit




Aku merasa, waktu aku kuliah S1, rumah benar benar menjadi tempat pulang yang nyaman. Berdamai dengan makan yang tidak teratur, laundry yang mahal serta adik adiku yang hangat. Namun, beberapa perasaan berubah ketika aku dipaksa pulang karena covid-19. Waktu itu aku punya waktu 3 bulan dirumah sehingga luka yang pelan pelan tertutup seketika terbuka, mengangga tanpa ada obatnya untuk kembali kering. Konflik ku dengan ibuku serasa tidak berkesudahan, apa yang aku lakukan terasa salah. 

Menjadi manusia yang baru lulus sarjana, luntang lantung tanpa apresiasi bahwa skripsinya tidak berjalan seperti rencana awal. Hidup hanya mengurus rumah yang tidak pernah diurus. Dianggap bahwa membuang uang dan resource yang ada. Pilihan hidupku waktu itu, merantau atau gila. 

Ternyata luka itu kembali menganga ketika aku memperkanalkan orang baru. Pacaraku saat itu yang habis habisan dikritik karena tidak sesuai memenuhi standar orang tuaku. Pada saat itu, aku percaya yang aku butuhkan adalah teman diskusi yang saling menyayangi dan membutuhakan. Perasaan yang sudah lama hilang ketika aku dirumah. Namun, ternyata luka kembali hadir ketika aku membawa orang yang aku sayang. Aku kembali merasa tidak diterima dan terluka setiap kali membicarakannya. 

Setelah menjadi anggota rumah ini selama 26 tahun lebih, 25 tahunnya dihabiskan menjadi kakak dan hampir 10 tahun sudah merantau, aku paham bahwa rumah ini bagaimanapun adalah tempat aku dibesarkan. Tempat dimana aku selalu dikritik karena salah, namun mereka tidak pernah berpikir darimana aku mempelajarinya. Tempat aku belajar mana yang common mana yang tidak; yang aku juga tidak tahu mana yanh benar atau tidak. Semuanya hanya common buat aku, walaupun mungkin ada yang salah. Namun dewasa, aku ternyata dipaksa untuk menjadi sempurna tanpa diajari menjadi sempurna itu seharusnya seperti apa. 

Segala perasaan tumpah ruah, ketika tiga hari ini aku pulang. Setelah aku lulus S2, setelah aku menikah, setelah terakhir kali aku pulang aku kembali berkonflik dan terluka lagi dan lagi. Namun satu hal yang aku selalu rindukan adalah adik2ku dirumah, aku jadi merasa rumah ini belum pernah berubah karena mereka. Ketika mereka sibuk mengerjakan PR sekolah, rungsing setiap pagi mempersiapkan bekal dan ada saja cerita anak SMA. Tapi aku juga tidak tahu jika waktunya tiba, rayhan dan amira sekolah pendidikan tinggi, rumah ini akan menjadi sepi tinggal orangtuaku, tanpa adik adiku yang hangat.

Saaat ini akhirnya aku merasakan rasa syukur yang lebih lagi, ketika hubunganku dan kamu diakui dalam pernikahan, ketika membicarakan aku butuh waktu dengan suamiku terasa lebih nyaman dan damai. ditambah waktu ini tidak ada konflik dengan seluruh keluarga, ketika semua adik dan orang tuaku lengkap, segalanya jadi tanpa cela. Cela yang muncul munkin berasal dari setan yang iri membisikan kebencian di hatiku. 

Aku juga tidak bisa mengubah rumahku, mengubah satu kepala saja sudah sulit sekali. Aku paham bahwa merubah dunia mungkin tidak mungkin. Aku hanya bisa mengubah suasana. Saat ini aku paham hal hal pembicaraan yang harus dihindari, yang biasanya aku lakukan untuk mengubah rumah, mengubah dunia kecil yang penghuninya sama sama keras kepala. Saat ini aku hanya mengubah mood diriku dan disiplin untuk jadi kakak lebih baik dirumah, dan anak perempuan yang lebih ramah.

3 hariku disini, ternyata bermakna sekali. Terimakasih karena sudah mengizinkan aku balik kali ini walaupun dulu terasa masih ada resiko aku akan sedih dan marah dan alhamdulillah alhamdulillah masih bisa merayakan dengan lengkap dan saat ini terasa tanpa cela. 

Komentar