Memaknai Hari Raya Karantina





Beberapa tahun yang lalu, aku sempat membuat tulisan tentang bagaimana pentingnya resolusi idul fitri. Pemikiran ini terwujud akibat rasa bersalah kenapa ketika awal tahun masehi kita membuat resolusi tapi ketika idul fitri tidak. 

Kembali pemikiranku beradu dalam hari raya tahun ini yang agak berbeda. Hari ini seluruh umat islam merayakan idul fitri. Hari dimana Allah menjanjikan kemenangan bagi hamba hambaNya dari hawa nafsu. Namun, kali ini nafsu dan tantangan menjaganya sungguh berbeda, akibat adanya wabah korona. 

Korona, virus kecil ini membuat gempar dunia. Jutaan orang meninggal dan jutaan lainya sakit karenanya. Mereka kesulitan bernapas, beberapa diantaranya tidak sadar dan menularkan. Virus ini telah melumpuhkan beberapa roda perekonomian. Pemerintah memutar otak habis habisan untuk menyelamatkan masyarakatnya.

Masyarakat, tidak serta merta mudah hidupnya. Peraturan super ketat dari pemerintah memaksa mereka untuk tinggal dirumah, kerja dirumah dan beribadah dirumah. Padahal, momen ramadhan (bulan umat islam berpuasa menahan hawa nafsu) kuat kaitanya dengan bulan memuliakan masjid. Bulan ini, umat islam terbiasa berbondong2 ke masjid untuk melakukan sholat tarawih berjamaah, tadarus hingga iktikaf. 

Beberapa ritual keagamaan dilaksanakan dirumah. Namun demikian, nafsu yang dikelola tidak hanya sampai disana. Keinginan untuk membeli baju lebaran, menikmati momen buka bersama, pulang kampung, dan pawai obor keliling juga harus dikelola. Tradisi dan perayaan tahunan ini seketika hilang. Digantikan buka bersama dengan #dirumahaja. Takbiran hanya melalui youtube. Pawai obor dibatalkan. Baju lebaran seadanya. 

Beberapa masyarakat, tidak dapat menahan nafsunya. Beberapa berbondong2 ke pusat perbelanjaan. Beberapa memaksa buka bersama diam diam. Beberapa tetap mudik ke kampung halaman. Hal ini tanpa kita sadari menodai makna hari raya kembali ke fitri dengan menahan hawa nafsu. Toh mereka kalah dengan nafsu berbelanja, nafsu pulang kampung, bahkan nafsu buka bersama. 

Hari raya ini memang berbeda. Kita dipaksa untuk menikmati makna yang sesungguhnya dari kembali ke fitri. Manusia dipaksa untuk menahan nafsu2 lain selain keinginan makan, minum dan menahan amarah. Nafsu manusia ini banyak sekali. Oleh karena itu, Allah menguji kita dengan pengelolaan yang lebih banyak tahun ini. 

Namun demikian, terima kasih untuk kalian yang berhasil menahan diri. Terima kasih untuk kalian yang tetap #dirumahaja. Terima kasih telah memaknai hari raya dengan kemenangan sesungguhnya. 


Semoga Allah menerima ibadah aku, kamu, dan seluruh muslim di dunia.

Komentar